03 April 2008

Farewell, Cigarettes...


“Jangan coba-coba merokok,” kata bapak saya bertahun-tahun silam, “karena ketika kamu sudah kecanduan, kamu akan kesulitan untuk benar-benar berhenti. Yang bisa kamu lakukan mungkin hanya coba-coba berhenti.”

Saya memulai karir sebagai perokok ketika usia saya belum genap sepuluh tahun. Waktu itu saya masih kelas lima SD. Adalah Son, teman sekelas yang menjadi mentor pertama saya. Dialah yang memperkenalkan saya pada “makhluk langsing” campuran tembakau, cengkih, dan saus itu. Layaknya perokok pemula, tentu saja kala itu, saya terbatuk-batuk. Ketika esok harinya mencoba lagi, tetap saja uhuk-uhuk. Begitu pula esok lusanya. Tapi rupanya itu bukan alasan untuk berhenti. Saya malah terus mencoba, terus klepas-klepus, terus menyalakan api dalam mulut saya seperti lokomotif yang tak henti-henti mengumbar asap dari moncong hidungnya.

Son, meski sekelas, sebenarnya berusia dua tahun lebih tua ketimbang saya. Tubuhnya gempal dengan batang leher yang tak jenggang. Kulitnya sangat sawo matang—kalau tidak mau dibilang hampir kecoklatan. Tak salah jika teman-teman suka memanggilnya Mike Tyson, petinju yang, saking terkenalnya waktu itu, saya kira berasal dari Indonesia dan merupakan teman dekat Elyas Pical.

Son tinggal bersama ibunya. Bapaknya meninggal ketika usianya masih hitungan hari. Sang ibu, layaknya perempuan kampung era 1950-an, menjadi buruh tani yang sering tidak di rumah ketika Son pulang sekolah. Dengan demikian, ia bebas kesana-kemari, bahkan terkadang hingga sore hari. Teman sepermainannya pun sudah lintas-usia. Tidak hanya dengan anak sebaya seperti saya, ia juga terbiasa bermain dengan kakak-kakak yang sudah SMA. Agaknya, dari mereka inilah Son berkenalan dengan rokok yang pada gilirannya diperkenalkan pula pada saya.

Bersama saya, Son mendapat akses yang jauh lebih gampang terhadap rokok. Karena, pertama, rumah saya bersebelahan dengan kantor desa. Sebagai tempat bertemunya orang-orang dewasa yang umumnya merokok, kantor desa sekaligus menjadi tempat paling gampang mencari puntung. Ya, puntung rokok. Di asbak yang berserak di meja pendapa, di lantai, juga di halaman.

Maka, demikianlah, setiap pulang sekolah, Son bertandang ke rumah saya, mengajak ke kantor desa. Sama halnya dengan pemulung, kami memunguti puntung rokok yang panjang-panjang, yang sekiranya cukup untuk sedikitnya lima kali sedotan. Jika sudah terkumpul, kami akan membawanya ke belakang kantor. Tapi sebelumnya, jika suasana tampak sepi, kami pasti mampir dulu ke kebun anggur Mbah Thayyib. Mencuri buah anggur barang dua genggam. Setelah itu, barulah kami “berpesta” di belakang kantor desa.

Namun tak selamanya kami bernasib baik. Tak setiap hari ada puntung rokok yang panjang-panjang. Jika sudah begini, kami lakukan “plan B”: mengambil rokok di warung ibu saya. Skenarionya begini. Kami akan berpura-pura baik dengan mempersilakan Ibu istirahat sementara kami menjaga warung. Kalau ada pembeli, entar ta bangunin, begitu usul saya. Jika Ibu setuju, tidak sulit bagi kami mengambil rokok barang dua batang tanpa ketahuan. Selanjutnya, kami tinggal menunggu calon pembeli. Begitu datang, larilah kencang-kencang.

Rasa ingin tahu dan sikap badung inilah yang mengantar saya pada kondisi di mana saya tak terpisahkan dari rokok. Saya kecanduan. Dan di usia 14 tahun, ketika saya baru kelas dua MTs (setara SMP), saya sudah menjadi perokok aktif. Terang saja ibu saya meradang. Kalau ketahuan, rokokmu ta matiin dalam mulutmu, ancam ibu saya waktu itu. Tapi segarang apapun ancaman Ibu, beliau tak berkutik dengan sikap Bapak yang, akhirnya, ho-oh saja dengan fakta ke-merokok-an saya. Sebagai perokok berat, Bapak memang seolah kehabisan cara untuk melarang. Tidak ada uswah alias keteladanan yang seharusnya bisa dijadikan landasan paling kukuh untuk itu.

Maka, saya pun melenggang. Terus klepas-klepus. Terus menyalakan api dalam mulut saya seperti lokomotif yang tak henti-henti mengumbar asap dari moncong hidungnya.

Ada segunung alasan yang sejatinya bisa menginsyafkan perokok dari kebiasaan buruknya ini. Ambil missal, “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan ganggung kehamilan dan janin”. Saya rasa, ini sudah dimaklumi setiap perokok. Tidak terkecuali saya. Tidak perlu mahal-mahal berkonsultasi ke dokter, cukup membaca “peringatan pemerintah” di setiap bungkus rokok, saya sudah mafhum. Kalau aktivitas merokok dikonotasikan dengan sikap jantan laki-laki, faktanya malah hampir semua perempuan tidak suka laki-laki (meminjam istilah saudara saya, A. Maimun Syamsuddin) “pengobar obat nyamuk”. Dari segi finansial justru lebih parah lagi. Setiap hari, seorang perokok aktif, umumnya membutuhkan satu bungkus. Jika satu bungkus seharga 7 ribu, maka saban bulan dia harus menyediakan budget minimal 210 ribu. Zaman sekarang, jumlah itu sama dengan 38 kilo beras atau 70 liter minyak tanah! Bagi seorang bookaholic yang menaruh minat pada buku-buku ekonomi, itu setara dengan harga 3 buku Blue Ocean Strategy-nya W. Chan Kim.

Tapi, dasar ketagihan, siapa yang bisa menghadang hasrat untuk terus, terus, dan terus “menyantap” rokok! Ibu saya sering menyarankan, “Makanlah apa saja sebagai ganti rokokmu. Tak masalah meski kamu gendut. Kalau mulutmu terasa kecut dan nagih, cobalah makan coklat atau permen!”. Saya ikuti saran itu. Tapi khasiatnya sangat temporal. Begitu coklat atau permen selesai saya emut, godaan untuk merokok belum habis benar. Malah menjadi kian tak tertahankan.

Rokok memang tak tergantikan. Setidaknya hingga saya menikah dan punya anak.

Ketika saya hendak naik ke pelaminan, (calon) istri saya meminta saya untuk berjanji berhenti merokok. Atas nama gombal, saya mengiyakannya. Selama tiga hari pertama, saya memang menaati janji saya. Tapi sungguh, selama itu pula saya merasa seperti di neraka. Saya tidak tahan. Maka, di hari keempat dan seterusnya, saya klepas-klepus lagi—tentu saja tanpa sepengetahuan istri.

Namun, begitu anak pertama saya lahir, saya mendapat motivasi berlipat-lipat. Setiap kali menatap bening matanya yang cemerlang atau mendengar derai tawanya yang “sangat perempuan”, saya senantiasa disadarkan pada bagaimana menyiapkan dana pendidikan (di Bali sini, biaya masuk TK saja setara dengan biaya masuk perguruan tinggi di zaman saya), dana kesehatan (di sini, suntik imunisasi bisa 85 ribu, Cing!), dan semacamnya yang bertalian langsung dengan “juragan cilik” saya itu.

Saya sadar, seberapa pun penghasilan saya, saya mesti berhitung dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Bagaimana kalau anak saya mendadak (naudzu billah) sakit keras, harus diopname, harus dioperasi? Atau, bagaimana kalau ibunya tiba-tiba menderita fistula seperti saya kemarin dan harus naik ke meja operasi yang menghabiskan biaya berjuta-juta? Padahal perusahaan saya hanya memberikan medical expenses pada karyawan semata, tidak termasuk keluarganya.

Di pihak lain, saya sadar, sekecil apapun pengeluaran untuk rokok, jika dihimpun (saya agak risih memakai kata “ditabung” karena seumur-umur saya belum pernah sukses menabung), maka ia akan banyak juga. Barangkali memang tidak akan cukup untuk beli mobil dalam rentang waktu satu-dua bulan. Tapi untuk sekadar membelikan pisang ambon, menu utama anak saya, boleh juga.

Bukan hal mudah, memang, untuk benar-benar berhenti merokok—persis seperti dibilang bapak saya, bertahun-tahun silam. Saya mesti bersiap-sedia dengan banyak permen, banyak air putih, banyak pisang, banyak camilan. Tapi saya punya satu kenangan yang meneguhkan hati saya. Bahwa ketika saya belajar merokok, itu juga bukan hal mudah: saya terbatuk-batuk, uhuk-uhuk, pusing-pusing, bahkan sempat muntah.

Jadi, kenapa sekarang saya enggan bertarung dengan rasa kecut, nagih, dan sakau karena tidak merokok! Jadi, farewell, cigarettes…