03 April 2008

Farewell, Cigarettes...


“Jangan coba-coba merokok,” kata bapak saya bertahun-tahun silam, “karena ketika kamu sudah kecanduan, kamu akan kesulitan untuk benar-benar berhenti. Yang bisa kamu lakukan mungkin hanya coba-coba berhenti.”

Saya memulai karir sebagai perokok ketika usia saya belum genap sepuluh tahun. Waktu itu saya masih kelas lima SD. Adalah Son, teman sekelas yang menjadi mentor pertama saya. Dialah yang memperkenalkan saya pada “makhluk langsing” campuran tembakau, cengkih, dan saus itu. Layaknya perokok pemula, tentu saja kala itu, saya terbatuk-batuk. Ketika esok harinya mencoba lagi, tetap saja uhuk-uhuk. Begitu pula esok lusanya. Tapi rupanya itu bukan alasan untuk berhenti. Saya malah terus mencoba, terus klepas-klepus, terus menyalakan api dalam mulut saya seperti lokomotif yang tak henti-henti mengumbar asap dari moncong hidungnya.

Son, meski sekelas, sebenarnya berusia dua tahun lebih tua ketimbang saya. Tubuhnya gempal dengan batang leher yang tak jenggang. Kulitnya sangat sawo matang—kalau tidak mau dibilang hampir kecoklatan. Tak salah jika teman-teman suka memanggilnya Mike Tyson, petinju yang, saking terkenalnya waktu itu, saya kira berasal dari Indonesia dan merupakan teman dekat Elyas Pical.

Son tinggal bersama ibunya. Bapaknya meninggal ketika usianya masih hitungan hari. Sang ibu, layaknya perempuan kampung era 1950-an, menjadi buruh tani yang sering tidak di rumah ketika Son pulang sekolah. Dengan demikian, ia bebas kesana-kemari, bahkan terkadang hingga sore hari. Teman sepermainannya pun sudah lintas-usia. Tidak hanya dengan anak sebaya seperti saya, ia juga terbiasa bermain dengan kakak-kakak yang sudah SMA. Agaknya, dari mereka inilah Son berkenalan dengan rokok yang pada gilirannya diperkenalkan pula pada saya.

Bersama saya, Son mendapat akses yang jauh lebih gampang terhadap rokok. Karena, pertama, rumah saya bersebelahan dengan kantor desa. Sebagai tempat bertemunya orang-orang dewasa yang umumnya merokok, kantor desa sekaligus menjadi tempat paling gampang mencari puntung. Ya, puntung rokok. Di asbak yang berserak di meja pendapa, di lantai, juga di halaman.

Maka, demikianlah, setiap pulang sekolah, Son bertandang ke rumah saya, mengajak ke kantor desa. Sama halnya dengan pemulung, kami memunguti puntung rokok yang panjang-panjang, yang sekiranya cukup untuk sedikitnya lima kali sedotan. Jika sudah terkumpul, kami akan membawanya ke belakang kantor. Tapi sebelumnya, jika suasana tampak sepi, kami pasti mampir dulu ke kebun anggur Mbah Thayyib. Mencuri buah anggur barang dua genggam. Setelah itu, barulah kami “berpesta” di belakang kantor desa.

Namun tak selamanya kami bernasib baik. Tak setiap hari ada puntung rokok yang panjang-panjang. Jika sudah begini, kami lakukan “plan B”: mengambil rokok di warung ibu saya. Skenarionya begini. Kami akan berpura-pura baik dengan mempersilakan Ibu istirahat sementara kami menjaga warung. Kalau ada pembeli, entar ta bangunin, begitu usul saya. Jika Ibu setuju, tidak sulit bagi kami mengambil rokok barang dua batang tanpa ketahuan. Selanjutnya, kami tinggal menunggu calon pembeli. Begitu datang, larilah kencang-kencang.

Rasa ingin tahu dan sikap badung inilah yang mengantar saya pada kondisi di mana saya tak terpisahkan dari rokok. Saya kecanduan. Dan di usia 14 tahun, ketika saya baru kelas dua MTs (setara SMP), saya sudah menjadi perokok aktif. Terang saja ibu saya meradang. Kalau ketahuan, rokokmu ta matiin dalam mulutmu, ancam ibu saya waktu itu. Tapi segarang apapun ancaman Ibu, beliau tak berkutik dengan sikap Bapak yang, akhirnya, ho-oh saja dengan fakta ke-merokok-an saya. Sebagai perokok berat, Bapak memang seolah kehabisan cara untuk melarang. Tidak ada uswah alias keteladanan yang seharusnya bisa dijadikan landasan paling kukuh untuk itu.

Maka, saya pun melenggang. Terus klepas-klepus. Terus menyalakan api dalam mulut saya seperti lokomotif yang tak henti-henti mengumbar asap dari moncong hidungnya.

Ada segunung alasan yang sejatinya bisa menginsyafkan perokok dari kebiasaan buruknya ini. Ambil missal, “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan ganggung kehamilan dan janin”. Saya rasa, ini sudah dimaklumi setiap perokok. Tidak terkecuali saya. Tidak perlu mahal-mahal berkonsultasi ke dokter, cukup membaca “peringatan pemerintah” di setiap bungkus rokok, saya sudah mafhum. Kalau aktivitas merokok dikonotasikan dengan sikap jantan laki-laki, faktanya malah hampir semua perempuan tidak suka laki-laki (meminjam istilah saudara saya, A. Maimun Syamsuddin) “pengobar obat nyamuk”. Dari segi finansial justru lebih parah lagi. Setiap hari, seorang perokok aktif, umumnya membutuhkan satu bungkus. Jika satu bungkus seharga 7 ribu, maka saban bulan dia harus menyediakan budget minimal 210 ribu. Zaman sekarang, jumlah itu sama dengan 38 kilo beras atau 70 liter minyak tanah! Bagi seorang bookaholic yang menaruh minat pada buku-buku ekonomi, itu setara dengan harga 3 buku Blue Ocean Strategy-nya W. Chan Kim.

Tapi, dasar ketagihan, siapa yang bisa menghadang hasrat untuk terus, terus, dan terus “menyantap” rokok! Ibu saya sering menyarankan, “Makanlah apa saja sebagai ganti rokokmu. Tak masalah meski kamu gendut. Kalau mulutmu terasa kecut dan nagih, cobalah makan coklat atau permen!”. Saya ikuti saran itu. Tapi khasiatnya sangat temporal. Begitu coklat atau permen selesai saya emut, godaan untuk merokok belum habis benar. Malah menjadi kian tak tertahankan.

Rokok memang tak tergantikan. Setidaknya hingga saya menikah dan punya anak.

Ketika saya hendak naik ke pelaminan, (calon) istri saya meminta saya untuk berjanji berhenti merokok. Atas nama gombal, saya mengiyakannya. Selama tiga hari pertama, saya memang menaati janji saya. Tapi sungguh, selama itu pula saya merasa seperti di neraka. Saya tidak tahan. Maka, di hari keempat dan seterusnya, saya klepas-klepus lagi—tentu saja tanpa sepengetahuan istri.

Namun, begitu anak pertama saya lahir, saya mendapat motivasi berlipat-lipat. Setiap kali menatap bening matanya yang cemerlang atau mendengar derai tawanya yang “sangat perempuan”, saya senantiasa disadarkan pada bagaimana menyiapkan dana pendidikan (di Bali sini, biaya masuk TK saja setara dengan biaya masuk perguruan tinggi di zaman saya), dana kesehatan (di sini, suntik imunisasi bisa 85 ribu, Cing!), dan semacamnya yang bertalian langsung dengan “juragan cilik” saya itu.

Saya sadar, seberapa pun penghasilan saya, saya mesti berhitung dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Bagaimana kalau anak saya mendadak (naudzu billah) sakit keras, harus diopname, harus dioperasi? Atau, bagaimana kalau ibunya tiba-tiba menderita fistula seperti saya kemarin dan harus naik ke meja operasi yang menghabiskan biaya berjuta-juta? Padahal perusahaan saya hanya memberikan medical expenses pada karyawan semata, tidak termasuk keluarganya.

Di pihak lain, saya sadar, sekecil apapun pengeluaran untuk rokok, jika dihimpun (saya agak risih memakai kata “ditabung” karena seumur-umur saya belum pernah sukses menabung), maka ia akan banyak juga. Barangkali memang tidak akan cukup untuk beli mobil dalam rentang waktu satu-dua bulan. Tapi untuk sekadar membelikan pisang ambon, menu utama anak saya, boleh juga.

Bukan hal mudah, memang, untuk benar-benar berhenti merokok—persis seperti dibilang bapak saya, bertahun-tahun silam. Saya mesti bersiap-sedia dengan banyak permen, banyak air putih, banyak pisang, banyak camilan. Tapi saya punya satu kenangan yang meneguhkan hati saya. Bahwa ketika saya belajar merokok, itu juga bukan hal mudah: saya terbatuk-batuk, uhuk-uhuk, pusing-pusing, bahkan sempat muntah.

Jadi, kenapa sekarang saya enggan bertarung dengan rasa kecut, nagih, dan sakau karena tidak merokok! Jadi, farewell, cigarettes…

26 Maret 2008

Apalah Arti Sebuah Nama



Kalau ada kelompok orang di Indonesia yang tidak terlatih main rahasia-rahasiaan, mungkin orang Bali-lah yang pantas disebut duluan. Kenapa? Lihat saja namanya! Nama orang Bali selalu mengandung sedikitnya tiga informasi. Pertama, jenis kelaminnya. Kedua, anak ke berapa dia. Ketiga, berasal dari kasta apa dia.

Jika anda mendengar nama I Wayan Sudirta, misalnya, anda telah mengantongi jawaban atas tiga hal yang saya jelaskan barusan. Pertama, dia pasti seorang laki-laki. Jika bukan, boleh jadi dia banci. Karena kalau dia perempuan tulen, deret paling depan namanya pasti berbunyi “Ni”, bukan “I”. Kedua, dia pastilah anak pertama. Perhatikan kata “Wayan”. Inilah yang mengisyaratkan ke-anakpertama-an dirinya. Kalau dia anak kedua, “Wayan”-nya pasti menjadi “Made” (jangan diimbuhi “in Indonesia” agar dzauq English anda tidak mengartikannya menjadi “buatan Indonesia”). Ketiga, dia, si Wayan ini, berasal dari kasta sudra, tingkat terendah dalam hierarki kebangsawanan Bali. Kalau dia lahir dari orangtua yang berkasta setingkat lebih tinggi, “Wayan” tadi menjelma jadi “Putu” (jangan sembarang panggil “Putu” jika anda sedang Jawa, terlebih jika tengah berkunjung ke pusat jajanan, karena boleh jadi yang menghampiri anda bukan seorang kawan bernama Putu, melainkan gerobak kue berbahan dasar tepung ketan yang, celakanya, lazim disebut putu juga).

Gampangnya, nama anak-anak Bali di-setting dengan kaidah begini. Anak pertama dipanggil Wayan atau Putu atau Gde, tergantung kasta masing-masing. Anak kedua disebut Made atau Kadek atau Nengah. Anak ketiga, kalau bukan Komang, ya Nyoman. Sedangkan anak keempat, entah kenapa, senantiasa tunggal: Ketut. Kalau lahir anak kelima, digunakanlah rumus iklan “berlaku kelipatannya”. Artinya, mulai lagi dari pertama: Wayan, Made, Komang, dan seterusnya.

Rumit? Boleh jadi. Tapi dengan begini, kita jadi mengerti: betapa terang benderangnya identitas Balinese, cukup dari namanya saja. Anda, seperti juga saya, tidak perlu lagi bertanya dari mana dan anak ke berapa I Komang Putra, kiper kondang yang suka menyingkat namanya menjadi IKP itu, Putu Wijaya, atau Gde Prama.

Bandingkan dengan orang Jawa yang namanya seringkali tidak menjelaskan apa-apa kecuali arti nama itu sendiri. Sumanto, Sulani, Sutomo, atau Su-Su lainnya. Informasi apa yang bisa anda tangkap dari sana? Kecuali bahwa Sumanto itu nama seorang kanibal yang pernah dipenjara karena memutilasi dan (dasar kanibal) makan daging manusia, tidak ada lagi informasi berarti. Sama halnya dengan jika anda mendengar nama Wawan Yulianto, anda belum bisa memastikan anak ke berapa dia.

Benar, nama orang Jawa terkadang memang dibekali penjelasan mengenai urutan kelahiran. Eka atau Eko menandakan si anak merupakan keturunan pertama. Dwi berarti dia anak kedua. Tri ketiga. Catur keempat. Panca kelima, dan seterusnya sebagaimana urutan nomer dalam bahasa Sanskerta. Tapi ini bukan hal yang jamak terjadi di belahan Jawa mana pun. Ada lebih banyak orangtua yang tidak menamai anaknya dengan model itu. Mafhum mukhalafah-nya, ada lebih banyak orangtua yang menamai anaknya sesuka hati mereka. Tak peduli anak ke berapa, orangtua di Jawa, enteng saja memanggil anaknya dengan “Anita” atau “Nanang” atau apa saja yang mereka suka.

Lain di Jawa, lain pula di Madura. Di pulau garam ini, nama seorang anak seringkali ditentukan bukan atas pertimbangan like and dislike orangtuanya. Melainkan oleh kiai, pemuka agama yang paling berpengaruh terhadap aspek spiritual orangtua anak tersebut. Boleh jadi, inilah wajah religiusitas yang dengan setia ditampakkan orang Madura lewat personifikasi ulama atau kiai. Sehingga jangan heran jika di sana, seorang bapak lebih ingat siapa yang memberi nama anaknya daripada apa arti nama anaknya tersebut. Jangan kaget pula jika seorang anak harus dinamai lebih dari sekali semata-mata karena ada kiai yang mengusulkan nama baru.

Keponakan saya, misalnya. Tadinya dia dipanggil Yogi. (Saya lupa nama lengkapnya. Yang jelas, unik dan tidak pasaran.) Tapi, setelah bapaknya sowan ke salah satu ulama yang ditakziminya, namanya diusulkan untuk diganti “Muhammad”. Usul itu pun diamini meski dengan sedikit modifikasi. Jadilah sekarang keponakan saya tersebut bernama Muhammad Terpuji, yang jika dialihbahasakan menjadi Terpuji Terpuji.

Apa pun itu, nama kebanyakan orang Madura, belum juga beranjak dari selera lama. Selera Arab. Biarpun panggilannya Bernando tapi sangat mungkin nama lengkapnya Bernando Junaidi. Sekalipun nama belakangnya Berliana tapi depannya Siti Tsabita. Sekali lagi, inilah mungkin tampang religiusitas yang setia ditampilkan orang Madura sebagaimana kesetiaan orang Bali terhadap tradisi penamaan anaknya.

Kendati demikian, tak semua orang berani setia, memang. Belakangan, tutur seorang rekan kerja saya, tidak semua orangtua di Bali menamai anaknya dengan prinsip Wayan-Made-Komang. “Sewaktu sekolah dulu,” ceritanya, “tiang punya teman namanya Agus Wiranata. Tidak pakai Putu, Made atau Nyoman. Begitu saja. Seperti orang Jawa. Padahal dia Bali asli.” Lalu, dengan tampang yang sama bingungnya dengan saya, dia bertanya, “Kok bisa ya?”.

Terang saja saya tidak punya jawaban apa-apa karena, toh, konsep penamaan itu pun saya dapat dari dia. Dalam hati saya hanya membatin: globalisasi tak sekadar melubangi ozon, Kawan; ia juga telah menggerus apa saja, termasuk tradisi kita.

Bagaimana menurut anda?

Foto: Suasana upacara potong gigi di Bali.

Perempuan yang Ditinggalkan


Jika sedang terjaga sendirian di tengah malam, menunggui Laila yang sebentar-sebentar mengerang kesakitan diserang demam, aku ingin sekali mengguncang pundakmu dan berbisik agak keras tepat di hadapan wajahmu yang pulas.

“Hey bangun, temani aku!”

Engkau akan menggeliat mendekat, ikut duduk di tepi ranjang hingga berderak, ikut mengawasi Laila yang sekalipun tidur namun kelihatan tak nyenyak. Sesekali engkau meraba dahinya, merasai dingin telapak kakinya. Lalu bila perlu, engkau mengambil handuk kecil atau sapu tangan tebal di lemari pakaian, membawanya ke dapur untuk dibasahi dengan air yang tadi pagi telah kujerang, dan menaruhnya di kening Laila perlahan-lahan berharap suhu panas tubuhnya berangsur normal.

Namun bila selang beberapa jenak kemudian erangnya justru terdengar kian kencang, engkau buru-buru menyuruhku ke dapur untuk memarut timun, membuatkan kompres yang konon lebih manjur. Sementara engkau sendiri bergegas ke luar menuju rumah Pak Nyoman, mantri kesehatan yang berjarak seratus meter dari rumah kita. Aku tak perlu tahu bagaimana caramu membangunkannya di puncak malam yang begini buta. Yang jelas, kau pasti pulang dengan sebotol sirup penurun panas…

Begitulah seharusnya.

Ya, begitulah semestinya. Engkau selalu hadir di sini, di dekatku dan Laila, di dekat istri dan anakmu. Selalu. Terutama di saat kami benar-benar membutuhkan hadirmu. Bukan. Bukan seperti sekarang, seperti malam ini. Aku sendirian yang mesti berjaga malam-malam dan mengurus semua: mengompres, memarut timun, mengambilkan air minum jika Laila menjerit kehausan, merapikan selimutnya yang terkadang melorot kena tendang, membisikkan apapun yang sekiranya membuat hatinya nyaman dan senang.

Masih untung ada Bapak di kamar sebelah yang bersedia kumintai tolong membelikan sirup yang biasa Laila gunakan walaupun untuk itu beliau harus bolak-balik ke rumah Pak Nyoman karena salah kemasan. Beruntung pula ada Ibu yang tak pernah menolak jika kuminta menggantikan posisiku di samping Laila saat aku tak kuasa mengendalikan kantuk yang bergelayut di bola mata.

Sementara engkau, di manakah engkau malam ini?

Adakah engkau tengah dalam perjalanan kemari: kembali ke rumah ini, rumah yang menurutmu dulu amat kau suka karena mungil dan di depannya ada pohon pepaya? Kalaupun tidak dalam perjalanan pulang, adakah engkau sedang teringat pada Laila yang entah kenapa belakangan ini sering sakit-sakitan?

Ataukah engkau sedang asyik-masyuk bercinta dengan perempuanmu yang sundal binal nan menggairahkan itu, yang telah membuatmu tak pulang-pulang sejak lima tahun silam, tanpa kabar tanpa nafkah tanpa status percerian? Benarkah engkau telah sungguh-sungguh melupakan setiap malam-malam kita: mulai malam pertama usai engkau menunjukkan diri sebagai lelaki perkasa, hingga malam-malam selanjutnya di mana engkau mulai suka mencium perutku yang membuncit mengandung Laila?

Lupakah engkau pada janji setiamu di hadapan penghulu yang kau ikrarkan atas nama Tuhan? Lupakah engkau pada tanggungjawabmu sebagai ayah Laila? Bukankah semestinya engkau turut wajib membesarkannya, tapi siapakah yang selama ini membelikannya susu, baju, sepatu? Bukan engkau. Ayahku. Siapakah yang rajin menggendongnya sejak kecil, mengajarinya ciluk-ba? Bukan engkau. Ibuku. Siapakah yang saban hari mengantarnya ke sekolah? Bukan engkau. Aku. Bahkan, siapa pula yang membayar biaya operasi cesar-ku yang berjuta-juta itu? Bukan engkau. Orangtuaku. Lupakah engkau, wahai?

Lalu kenapa engkau sampai hati meninggalkanku sendirian di puncak cintaku yang hampir militan, mencampakkanku mirip sepah tebu sehabis kau kulum kau emut dalam-dalam? Kalau masalahmu adalah kepuasan, tak cukupkah pengorbananku selama ini: bukankah telah kubiarkan engkau “jajan” di luar ketika apa yang kuhidangkan tak seperti yang kauharapkan, telah kurelakan pula engkau pulang malam-malam dengan pakaian awut-awutan dan leher sarat bekas gigitan? Kenapa, seperti kata peribahasa, air susu yang kuberi malah kau balas dengan air tuba? Kenapa, setelah kuberi engkau hati, masih juga merogoh empela? Tak cukupkah rasa sakit yang kauberi, belum puaskah hatimu?

Hati? Ah, terkadang aku jadi ingin tahu: terbuat dari apakah sebetulnya hatimu? Benarkah ia berupa segumpal daging berbentuk helai daun waru seperti yang digambarkan anak SMU di surat cintanya yang penuh kata “I love you”, seperti dilambangkan kelompok musik Dewa di album “Bintang Lima”, dan tepatnya seperti dijelaskan ahli anatomi di buku-buku biologi? Betulkah ia masih bisa menangkap rasa seperti hatiku yang sanggup merefleksikan rindu, dendam, bangga, bahagia, sedih, takut, berani, benci, dan cinta?

Atau jangan-jangan, hatimu telah batu: mengingkari setiap rindu yang diam-diam melindap ke relung kalbumu, sekaligus menghapus semua ingin untuk bertemu dengan Laila dan denganku, hanya karena perempuan itu.


(published by Jurnal BaCA, 2005)

Disharmoni


kita adalah pasangan yang musykil

berharap menemukan Khadijah dan Muhammad

di diri masing-masing

padahal bening cermin yang memantulkan kita

memuramkan segala janji setia


kita adalah pasangan yang ganjil

bermimpi mati di Mina

setelah letih jalan-jalan di Venesia

padahal ketika tiket ke Bali tak kunjung kau dapat

kau mengataiku bangsat!


aku adalah pohon kering bunga

pantas saja kau menebang sambil berkata:

tai kucing dengan cinta

tak bisa buat beli villa

ditolak konter pulsa!


singapadu, 3 desember 2007

25 Maret 2008

Pagi-Pagi Usnan



Untuk
mengetahui jam berapa gerangan sekarang, Usnan tidak perlu menoleh ke seberang ranjang, di mana jam wekernya duduk dengan letih menghitung waktu. Tak perlu pula melongok jam digital pada layar ponsel di sisi bantal. Apalagi sampai harus memalingkan muka untuk menatap jam dinding di balik punggung.

Cukup melihat dua lubang ventilasi di atas daun pintu, ia pasti tahu: hari sudah siang. Perhatikan saja sinar matahari yang menerobos masuk lewat lubang-lubang seukuran bantalan stempel itu. Sungguh terang benderang! Seolah siap melumat cahaya lampu neon 15 watts yang masih menyala di kamarnya sejak semalam. Rasakan pula kehangatan yang diam-diam memenuhi seisi ruangan. Kemudian tengoklah ke luar! Sang surya mungkin sudah naik setinggi antena televisi atau bahkan sejajar dengan pohon kelapa.

Itu berarti, waktu subuh benar-benar telah lewat sedari tadi!

Seperti pagi-pagi sebelumnya, begitu menyadari subuhnya telah pergi, Usnan langsung mengibaskan selimut yang menutupi tubuhnya dengan beringas. Ketika dirasakannya selimut itu masih menutupi ujung kakinya, tanpa ampun ia menerjang. Hingga kain tebal bermotif Spiderman tersebut teronggok tak berdaya di bibir ranjang.

Lantas, dengan gerakan yang sama kasarnya dengan terjangan barusan, ia bangkit dan bergegas turun dari ranjang. Tak ayal ranjang besi yang renta itu berderit nyaring. Seolah minta dikasihani. Tapi Usnan tak mau peduli. Alih-alih berpikir untuk melumasi setiap sambungannya yang tentu sudah karatan, ia malah menghantamkan bantal ke permukaan kasur. Ada terdengar suara berdebum. Buih-buih kapuk beterbangan. Membuat pengap udara dalam ruangan.

Usnan terbatuk. Tapi hanya sekali. Selanjutnya, yang berulang-ulang keluar dari mulutnya adalah suara jerit tertahan.

“Ya Allah, ya Allah, ya Allah!”

♦♦♦

Ini bukan kali pertama Usnan mengawali paginya dengan kalap. Sebagaimana kubilang tadi, “seperti pagi-pagi sebelumnya”, berarti telah ada pagi-pagi yang lain di mana ia terbangun dari tidurnya lalu mengamuk serupa harimau terluka. Dan aku, sebagai teman kos yang bersebelahan kamar dengannya, tentu saja selalu menjadi “pemirsa utama” acara gebuk bantal itu. Menjadi pendengar pertama jeritan-jeritannya yang mengharu-biru itu.

“Kenapa, Bung, pagi-pagi kok sudah uring-uringan?” tanyaku suatu ketika.

“Biasa, morning sickness.

Aku tertegun, dirubung bingung. Morning sickness? Bukankah itu berarti gejala mual, pusing-pusing, dan muntah-muntah yang biasa diderita perempuan yang sedang hamil muda? Memangnya kamu hamil? Sejak kapan laki-laki tulen macam kamu bisa bunting?

“Memangnya sudah telat berapa bulan?” selorohku.

“Dua minggu.”

Lho-lho-lho, apa-apaan ini! “Maksudmu?”

“Sudah dua minggu ini aku telat bangun terus. Kesiangan. Paling banter bangun jam setengah delapan. Jadinya ya—tidak pernah salat subuh.”

“Oalah, kupikir kamu habis cangkok rahim biar bunting. Terus sekarang muntah-muntah, mual-mual, morning sickness…

Morning sickness yang kumaksud tadi ya—muak pagi-pagi.”

“Muak sama siapa?”

Usnan menunjuk batang hidungnya sendiri.

“Gara-gara tidak salat subuh?”

“Gara-gara sengaja tidak salat subuh.”

“Sengaja?”

“Apa kata yang paling tepat untuk menggambarkan orang yang tidur lagi setelah dengar azan padahal dia belum salat?”

“Kamu kecapekan mungkin?”

“Sebulan ini aku tidak pernah kerja lembur. Tidak ada alasan untuk capek.”

“Tidurmu kemalaman?”

“Tidak juga. Bujangan kere yang tidak punya televisi seperti aku ini hanya bisa melakukan dua hal sehabis isya. Kalau tidak mengkhayal, ya tidur. Dan aku lebih suka memilih yang kedua.”

“Alarm-mu mati?”

“Siapa bilang? Kalaupun ada satu yang mati, toh masih ada alarm lain yang bisa bunyi. Kamu tahu kan, berapa jamku di kamar?”

Seingatku tiga.

“Empat,” sambung Usnan meralat pengetahuanku tentang jumlah jam miliknya. “Jam weker, jam dinding, alarm hp, arloji. Kesemuanya sehat wal afiat. Tidak ada satu pun yang mati atau lemah baterainya. Dan kamu mungkin tahu, sepuluh menit sebelum subuh alarm-alarmku itu pasti sudah bunyi.”

Ya, aku tahu. Sangat tahu, bahkan. “Terus, masalahmu apa sebenarnya? Bohong kalau kamu bilang alarm-alarmmu itu kurang kencang. Aku saja sampai terkaget-kaget dengarnya.”

“Malas,” jawab Usnan lugas. Ringkas. Seringkas salat subuh yang cuma dua rakaat dan dikerjakan bergegas-gegas.

Aku tergelak. Hampir ngakak. “Ya—itu sih penyakit semua orang menjelang subuh, Bung!”

“Bukan cuma menjelang subuh. Menjelang waktu salat.”

“Nah itu dia! Tidak ada alasan lain apa selain malas?”

“Banyak. Tapi itulah yang paling jujur.”

“Lalu?”

“Lalu apanya?”

“Mengatasinya.”

“Kalau aku tahu cara mengatasinya, mustahil aku sampai banting-banting bantal tiap pagi. Ranjangku sampai mau patah karenanya.”

Aku juga sampai merasa ngeri dengarnya. “Kalau kamu sudah tahu ini semata-mata karena malas, bukan karena sebab lain, berarti obat yang kamu butuhkan sederhana saja, kan? Just do it! Itu saja. Gampang, kan?”

“Kedengarannya. Prakteknya?”

“Ya—jangan cuma didengarkan. Praktekkan! Do it! Begitu dengar azan, yang perlu kamu lakukan hanya satu. Bangun! Lalu ambil wudu, lalu salat.”

“Tidak semudah itu.”

“Apa susahnya? Kamu bilang, baru kali ini kamu tidak salat subuh terus-menerus selama dua minggu. Berarti dulu-dulunya tidak separah ini, kan? Kenapa sekarang bilang ‘tidak semudah itu’ padahal dulu ‘semudah itu’?”

“Situasinya sudah berbeda.”

“Kenapa?”

Usnan terdiam. Tampak ada yang hendak dikatakannya. Tapi ia hanya tersenyum. Tersipu. Lalu lamat-lamat terdengar ia menembangkan sebuah lagu. Hancur hatiku mengenang dikau, menjadi keping-keping, setelah kau pergi…

Aku hanya butuh waktu dua detik untuk mengerti apa yang dimaksudkannya. “Oalah, gara-gara itu to. Wah-wah-wah, celaka duabelas, Bung, kalau kamu menjadikan Alia sebagai alasan tidak subuhan. Kamu tidak jadi tunangan dengannya, lalu jadi malas-malasan, lalu tidak subuhan, lalu ngamuk-ngamuk. Kekanak-kanakan sekali!”

“Itu sebabnya aku muak dengan diriku sendiri.”

“Terus banting-banting bantal tiap pagi.”

“Kadang ranjangku juga ingin kubanting-banting.”

“Bisa diusir Pak Kos kamu,” sergahku sambil tertawa. Usnan juga. “Memangnya kenapa sih kalian tidak jadi tunangan?”

“Alah, mau tahu saja kamu! Jadi mirip wartawan infotainment!”

“Oke, kalau begitu pertanyaannya kuganti. Seberapa penting sih Alia buatmu, sampai bikin kamu malas salat begitu?”

“Sepenting sms-smsnya yang selalu datang limabelas menit setelah waktu salat dimulai. Kalau hari ini waktu salat zuhur mulai jam duabelas misalnya, maka jam duabelas lewat limabelas menit nanti dia pasti sms begini: sudah salat belum? Begitu pula di waktu asar, magrib dan seterusnya. Aku sudah menganggap dia sebagai muazinku yang paling efektif. Dia tidak perlu pegang mic untuk azan di hadapanku. Cukup sms, beres.”

“Oya?”

Usnan menerawang. Tatapan matanya tak jelas jatuh di mana. Aku sendiri membayangkan betapa Alia telah sukses menjelma jadi malaikat penjaga salat bagi Usnan. Kalau bukan malaikat, setidaknya ia semacam polisi syariat yang gemilang.

“Terus, karena sekarang muazinnya sudah pergi, salatnya juga berhenti?”

“Aku benci menjadi laki-laki serapuh ini. Sama sekali tidak suka sebenarnya. Tapi apa boleh buat! Alia sudah menjadi semacam kafein yang mengandung zat adiktif bagiku.”

“Bagaimana kalau aku saja yang sms begitu tiap subuh?”

“Bukan isi sms-nya yang penting tapi siapa yang mengirim.”

“Kalau aku yang kirim?”

“Sepertinya mataku akan tetap mengantuk.”

“Kalau begitu niat salatmu perlu diganti. Jangan bilang lillahi ta’ala tapi li Alia al-jamilah.

“Kamu mau bilang aku tidak ikhlas?”

“Kamu pikir dengan begitu kamu ikhlas?”

Usnan terdiam. Ada ketegangan yang tiba-tiba mengapung di antara kami berdua. Sinar matahari jatuh pada gelas kopi di hadapanku. Mempertegas kepulan asap yang meruap.

“Sebaiknya cepat balik lagi ke Alia.”

“Kalau bisa.”

“Kalau tidak, segera bongkar ranjangmu sebelum ambruk gara-gara kamu amuk tiap pagi. Tidak usah pakai ranjang. Tidur saja di lantai.”

Tapi percuma. Usnan tidak juga membongkar ranjangnya. Sampai sekarang. Sampai pagi ini. Sampai aku dengar lagi suara-suara debum bantal menghajar ranjang dan jeritan-jeritannya yang tertahan. Entah sampai kapan. Mungkin besok. Mungkin lusa. Sampai Alia datang lagi dengan sms-smsnya. Atau, sampai Usnan kembali sadar salatnya lillahi ta’ala, bukan li Alia al-jamilah. ♦♦

Bali, 22 Februari 2008

(Dimuat oleh Banjarmasin Post, 20 April 2008)