26 Maret 2008

Apalah Arti Sebuah Nama



Kalau ada kelompok orang di Indonesia yang tidak terlatih main rahasia-rahasiaan, mungkin orang Bali-lah yang pantas disebut duluan. Kenapa? Lihat saja namanya! Nama orang Bali selalu mengandung sedikitnya tiga informasi. Pertama, jenis kelaminnya. Kedua, anak ke berapa dia. Ketiga, berasal dari kasta apa dia.

Jika anda mendengar nama I Wayan Sudirta, misalnya, anda telah mengantongi jawaban atas tiga hal yang saya jelaskan barusan. Pertama, dia pasti seorang laki-laki. Jika bukan, boleh jadi dia banci. Karena kalau dia perempuan tulen, deret paling depan namanya pasti berbunyi “Ni”, bukan “I”. Kedua, dia pastilah anak pertama. Perhatikan kata “Wayan”. Inilah yang mengisyaratkan ke-anakpertama-an dirinya. Kalau dia anak kedua, “Wayan”-nya pasti menjadi “Made” (jangan diimbuhi “in Indonesia” agar dzauq English anda tidak mengartikannya menjadi “buatan Indonesia”). Ketiga, dia, si Wayan ini, berasal dari kasta sudra, tingkat terendah dalam hierarki kebangsawanan Bali. Kalau dia lahir dari orangtua yang berkasta setingkat lebih tinggi, “Wayan” tadi menjelma jadi “Putu” (jangan sembarang panggil “Putu” jika anda sedang Jawa, terlebih jika tengah berkunjung ke pusat jajanan, karena boleh jadi yang menghampiri anda bukan seorang kawan bernama Putu, melainkan gerobak kue berbahan dasar tepung ketan yang, celakanya, lazim disebut putu juga).

Gampangnya, nama anak-anak Bali di-setting dengan kaidah begini. Anak pertama dipanggil Wayan atau Putu atau Gde, tergantung kasta masing-masing. Anak kedua disebut Made atau Kadek atau Nengah. Anak ketiga, kalau bukan Komang, ya Nyoman. Sedangkan anak keempat, entah kenapa, senantiasa tunggal: Ketut. Kalau lahir anak kelima, digunakanlah rumus iklan “berlaku kelipatannya”. Artinya, mulai lagi dari pertama: Wayan, Made, Komang, dan seterusnya.

Rumit? Boleh jadi. Tapi dengan begini, kita jadi mengerti: betapa terang benderangnya identitas Balinese, cukup dari namanya saja. Anda, seperti juga saya, tidak perlu lagi bertanya dari mana dan anak ke berapa I Komang Putra, kiper kondang yang suka menyingkat namanya menjadi IKP itu, Putu Wijaya, atau Gde Prama.

Bandingkan dengan orang Jawa yang namanya seringkali tidak menjelaskan apa-apa kecuali arti nama itu sendiri. Sumanto, Sulani, Sutomo, atau Su-Su lainnya. Informasi apa yang bisa anda tangkap dari sana? Kecuali bahwa Sumanto itu nama seorang kanibal yang pernah dipenjara karena memutilasi dan (dasar kanibal) makan daging manusia, tidak ada lagi informasi berarti. Sama halnya dengan jika anda mendengar nama Wawan Yulianto, anda belum bisa memastikan anak ke berapa dia.

Benar, nama orang Jawa terkadang memang dibekali penjelasan mengenai urutan kelahiran. Eka atau Eko menandakan si anak merupakan keturunan pertama. Dwi berarti dia anak kedua. Tri ketiga. Catur keempat. Panca kelima, dan seterusnya sebagaimana urutan nomer dalam bahasa Sanskerta. Tapi ini bukan hal yang jamak terjadi di belahan Jawa mana pun. Ada lebih banyak orangtua yang tidak menamai anaknya dengan model itu. Mafhum mukhalafah-nya, ada lebih banyak orangtua yang menamai anaknya sesuka hati mereka. Tak peduli anak ke berapa, orangtua di Jawa, enteng saja memanggil anaknya dengan “Anita” atau “Nanang” atau apa saja yang mereka suka.

Lain di Jawa, lain pula di Madura. Di pulau garam ini, nama seorang anak seringkali ditentukan bukan atas pertimbangan like and dislike orangtuanya. Melainkan oleh kiai, pemuka agama yang paling berpengaruh terhadap aspek spiritual orangtua anak tersebut. Boleh jadi, inilah wajah religiusitas yang dengan setia ditampakkan orang Madura lewat personifikasi ulama atau kiai. Sehingga jangan heran jika di sana, seorang bapak lebih ingat siapa yang memberi nama anaknya daripada apa arti nama anaknya tersebut. Jangan kaget pula jika seorang anak harus dinamai lebih dari sekali semata-mata karena ada kiai yang mengusulkan nama baru.

Keponakan saya, misalnya. Tadinya dia dipanggil Yogi. (Saya lupa nama lengkapnya. Yang jelas, unik dan tidak pasaran.) Tapi, setelah bapaknya sowan ke salah satu ulama yang ditakziminya, namanya diusulkan untuk diganti “Muhammad”. Usul itu pun diamini meski dengan sedikit modifikasi. Jadilah sekarang keponakan saya tersebut bernama Muhammad Terpuji, yang jika dialihbahasakan menjadi Terpuji Terpuji.

Apa pun itu, nama kebanyakan orang Madura, belum juga beranjak dari selera lama. Selera Arab. Biarpun panggilannya Bernando tapi sangat mungkin nama lengkapnya Bernando Junaidi. Sekalipun nama belakangnya Berliana tapi depannya Siti Tsabita. Sekali lagi, inilah mungkin tampang religiusitas yang setia ditampilkan orang Madura sebagaimana kesetiaan orang Bali terhadap tradisi penamaan anaknya.

Kendati demikian, tak semua orang berani setia, memang. Belakangan, tutur seorang rekan kerja saya, tidak semua orangtua di Bali menamai anaknya dengan prinsip Wayan-Made-Komang. “Sewaktu sekolah dulu,” ceritanya, “tiang punya teman namanya Agus Wiranata. Tidak pakai Putu, Made atau Nyoman. Begitu saja. Seperti orang Jawa. Padahal dia Bali asli.” Lalu, dengan tampang yang sama bingungnya dengan saya, dia bertanya, “Kok bisa ya?”.

Terang saja saya tidak punya jawaban apa-apa karena, toh, konsep penamaan itu pun saya dapat dari dia. Dalam hati saya hanya membatin: globalisasi tak sekadar melubangi ozon, Kawan; ia juga telah menggerus apa saja, termasuk tradisi kita.

Bagaimana menurut anda?

Foto: Suasana upacara potong gigi di Bali.

Perempuan yang Ditinggalkan


Jika sedang terjaga sendirian di tengah malam, menunggui Laila yang sebentar-sebentar mengerang kesakitan diserang demam, aku ingin sekali mengguncang pundakmu dan berbisik agak keras tepat di hadapan wajahmu yang pulas.

“Hey bangun, temani aku!”

Engkau akan menggeliat mendekat, ikut duduk di tepi ranjang hingga berderak, ikut mengawasi Laila yang sekalipun tidur namun kelihatan tak nyenyak. Sesekali engkau meraba dahinya, merasai dingin telapak kakinya. Lalu bila perlu, engkau mengambil handuk kecil atau sapu tangan tebal di lemari pakaian, membawanya ke dapur untuk dibasahi dengan air yang tadi pagi telah kujerang, dan menaruhnya di kening Laila perlahan-lahan berharap suhu panas tubuhnya berangsur normal.

Namun bila selang beberapa jenak kemudian erangnya justru terdengar kian kencang, engkau buru-buru menyuruhku ke dapur untuk memarut timun, membuatkan kompres yang konon lebih manjur. Sementara engkau sendiri bergegas ke luar menuju rumah Pak Nyoman, mantri kesehatan yang berjarak seratus meter dari rumah kita. Aku tak perlu tahu bagaimana caramu membangunkannya di puncak malam yang begini buta. Yang jelas, kau pasti pulang dengan sebotol sirup penurun panas…

Begitulah seharusnya.

Ya, begitulah semestinya. Engkau selalu hadir di sini, di dekatku dan Laila, di dekat istri dan anakmu. Selalu. Terutama di saat kami benar-benar membutuhkan hadirmu. Bukan. Bukan seperti sekarang, seperti malam ini. Aku sendirian yang mesti berjaga malam-malam dan mengurus semua: mengompres, memarut timun, mengambilkan air minum jika Laila menjerit kehausan, merapikan selimutnya yang terkadang melorot kena tendang, membisikkan apapun yang sekiranya membuat hatinya nyaman dan senang.

Masih untung ada Bapak di kamar sebelah yang bersedia kumintai tolong membelikan sirup yang biasa Laila gunakan walaupun untuk itu beliau harus bolak-balik ke rumah Pak Nyoman karena salah kemasan. Beruntung pula ada Ibu yang tak pernah menolak jika kuminta menggantikan posisiku di samping Laila saat aku tak kuasa mengendalikan kantuk yang bergelayut di bola mata.

Sementara engkau, di manakah engkau malam ini?

Adakah engkau tengah dalam perjalanan kemari: kembali ke rumah ini, rumah yang menurutmu dulu amat kau suka karena mungil dan di depannya ada pohon pepaya? Kalaupun tidak dalam perjalanan pulang, adakah engkau sedang teringat pada Laila yang entah kenapa belakangan ini sering sakit-sakitan?

Ataukah engkau sedang asyik-masyuk bercinta dengan perempuanmu yang sundal binal nan menggairahkan itu, yang telah membuatmu tak pulang-pulang sejak lima tahun silam, tanpa kabar tanpa nafkah tanpa status percerian? Benarkah engkau telah sungguh-sungguh melupakan setiap malam-malam kita: mulai malam pertama usai engkau menunjukkan diri sebagai lelaki perkasa, hingga malam-malam selanjutnya di mana engkau mulai suka mencium perutku yang membuncit mengandung Laila?

Lupakah engkau pada janji setiamu di hadapan penghulu yang kau ikrarkan atas nama Tuhan? Lupakah engkau pada tanggungjawabmu sebagai ayah Laila? Bukankah semestinya engkau turut wajib membesarkannya, tapi siapakah yang selama ini membelikannya susu, baju, sepatu? Bukan engkau. Ayahku. Siapakah yang rajin menggendongnya sejak kecil, mengajarinya ciluk-ba? Bukan engkau. Ibuku. Siapakah yang saban hari mengantarnya ke sekolah? Bukan engkau. Aku. Bahkan, siapa pula yang membayar biaya operasi cesar-ku yang berjuta-juta itu? Bukan engkau. Orangtuaku. Lupakah engkau, wahai?

Lalu kenapa engkau sampai hati meninggalkanku sendirian di puncak cintaku yang hampir militan, mencampakkanku mirip sepah tebu sehabis kau kulum kau emut dalam-dalam? Kalau masalahmu adalah kepuasan, tak cukupkah pengorbananku selama ini: bukankah telah kubiarkan engkau “jajan” di luar ketika apa yang kuhidangkan tak seperti yang kauharapkan, telah kurelakan pula engkau pulang malam-malam dengan pakaian awut-awutan dan leher sarat bekas gigitan? Kenapa, seperti kata peribahasa, air susu yang kuberi malah kau balas dengan air tuba? Kenapa, setelah kuberi engkau hati, masih juga merogoh empela? Tak cukupkah rasa sakit yang kauberi, belum puaskah hatimu?

Hati? Ah, terkadang aku jadi ingin tahu: terbuat dari apakah sebetulnya hatimu? Benarkah ia berupa segumpal daging berbentuk helai daun waru seperti yang digambarkan anak SMU di surat cintanya yang penuh kata “I love you”, seperti dilambangkan kelompok musik Dewa di album “Bintang Lima”, dan tepatnya seperti dijelaskan ahli anatomi di buku-buku biologi? Betulkah ia masih bisa menangkap rasa seperti hatiku yang sanggup merefleksikan rindu, dendam, bangga, bahagia, sedih, takut, berani, benci, dan cinta?

Atau jangan-jangan, hatimu telah batu: mengingkari setiap rindu yang diam-diam melindap ke relung kalbumu, sekaligus menghapus semua ingin untuk bertemu dengan Laila dan denganku, hanya karena perempuan itu.


(published by Jurnal BaCA, 2005)

Disharmoni


kita adalah pasangan yang musykil

berharap menemukan Khadijah dan Muhammad

di diri masing-masing

padahal bening cermin yang memantulkan kita

memuramkan segala janji setia


kita adalah pasangan yang ganjil

bermimpi mati di Mina

setelah letih jalan-jalan di Venesia

padahal ketika tiket ke Bali tak kunjung kau dapat

kau mengataiku bangsat!


aku adalah pohon kering bunga

pantas saja kau menebang sambil berkata:

tai kucing dengan cinta

tak bisa buat beli villa

ditolak konter pulsa!


singapadu, 3 desember 2007

25 Maret 2008

Pagi-Pagi Usnan



Untuk
mengetahui jam berapa gerangan sekarang, Usnan tidak perlu menoleh ke seberang ranjang, di mana jam wekernya duduk dengan letih menghitung waktu. Tak perlu pula melongok jam digital pada layar ponsel di sisi bantal. Apalagi sampai harus memalingkan muka untuk menatap jam dinding di balik punggung.

Cukup melihat dua lubang ventilasi di atas daun pintu, ia pasti tahu: hari sudah siang. Perhatikan saja sinar matahari yang menerobos masuk lewat lubang-lubang seukuran bantalan stempel itu. Sungguh terang benderang! Seolah siap melumat cahaya lampu neon 15 watts yang masih menyala di kamarnya sejak semalam. Rasakan pula kehangatan yang diam-diam memenuhi seisi ruangan. Kemudian tengoklah ke luar! Sang surya mungkin sudah naik setinggi antena televisi atau bahkan sejajar dengan pohon kelapa.

Itu berarti, waktu subuh benar-benar telah lewat sedari tadi!

Seperti pagi-pagi sebelumnya, begitu menyadari subuhnya telah pergi, Usnan langsung mengibaskan selimut yang menutupi tubuhnya dengan beringas. Ketika dirasakannya selimut itu masih menutupi ujung kakinya, tanpa ampun ia menerjang. Hingga kain tebal bermotif Spiderman tersebut teronggok tak berdaya di bibir ranjang.

Lantas, dengan gerakan yang sama kasarnya dengan terjangan barusan, ia bangkit dan bergegas turun dari ranjang. Tak ayal ranjang besi yang renta itu berderit nyaring. Seolah minta dikasihani. Tapi Usnan tak mau peduli. Alih-alih berpikir untuk melumasi setiap sambungannya yang tentu sudah karatan, ia malah menghantamkan bantal ke permukaan kasur. Ada terdengar suara berdebum. Buih-buih kapuk beterbangan. Membuat pengap udara dalam ruangan.

Usnan terbatuk. Tapi hanya sekali. Selanjutnya, yang berulang-ulang keluar dari mulutnya adalah suara jerit tertahan.

“Ya Allah, ya Allah, ya Allah!”

♦♦♦

Ini bukan kali pertama Usnan mengawali paginya dengan kalap. Sebagaimana kubilang tadi, “seperti pagi-pagi sebelumnya”, berarti telah ada pagi-pagi yang lain di mana ia terbangun dari tidurnya lalu mengamuk serupa harimau terluka. Dan aku, sebagai teman kos yang bersebelahan kamar dengannya, tentu saja selalu menjadi “pemirsa utama” acara gebuk bantal itu. Menjadi pendengar pertama jeritan-jeritannya yang mengharu-biru itu.

“Kenapa, Bung, pagi-pagi kok sudah uring-uringan?” tanyaku suatu ketika.

“Biasa, morning sickness.

Aku tertegun, dirubung bingung. Morning sickness? Bukankah itu berarti gejala mual, pusing-pusing, dan muntah-muntah yang biasa diderita perempuan yang sedang hamil muda? Memangnya kamu hamil? Sejak kapan laki-laki tulen macam kamu bisa bunting?

“Memangnya sudah telat berapa bulan?” selorohku.

“Dua minggu.”

Lho-lho-lho, apa-apaan ini! “Maksudmu?”

“Sudah dua minggu ini aku telat bangun terus. Kesiangan. Paling banter bangun jam setengah delapan. Jadinya ya—tidak pernah salat subuh.”

“Oalah, kupikir kamu habis cangkok rahim biar bunting. Terus sekarang muntah-muntah, mual-mual, morning sickness…

Morning sickness yang kumaksud tadi ya—muak pagi-pagi.”

“Muak sama siapa?”

Usnan menunjuk batang hidungnya sendiri.

“Gara-gara tidak salat subuh?”

“Gara-gara sengaja tidak salat subuh.”

“Sengaja?”

“Apa kata yang paling tepat untuk menggambarkan orang yang tidur lagi setelah dengar azan padahal dia belum salat?”

“Kamu kecapekan mungkin?”

“Sebulan ini aku tidak pernah kerja lembur. Tidak ada alasan untuk capek.”

“Tidurmu kemalaman?”

“Tidak juga. Bujangan kere yang tidak punya televisi seperti aku ini hanya bisa melakukan dua hal sehabis isya. Kalau tidak mengkhayal, ya tidur. Dan aku lebih suka memilih yang kedua.”

“Alarm-mu mati?”

“Siapa bilang? Kalaupun ada satu yang mati, toh masih ada alarm lain yang bisa bunyi. Kamu tahu kan, berapa jamku di kamar?”

Seingatku tiga.

“Empat,” sambung Usnan meralat pengetahuanku tentang jumlah jam miliknya. “Jam weker, jam dinding, alarm hp, arloji. Kesemuanya sehat wal afiat. Tidak ada satu pun yang mati atau lemah baterainya. Dan kamu mungkin tahu, sepuluh menit sebelum subuh alarm-alarmku itu pasti sudah bunyi.”

Ya, aku tahu. Sangat tahu, bahkan. “Terus, masalahmu apa sebenarnya? Bohong kalau kamu bilang alarm-alarmmu itu kurang kencang. Aku saja sampai terkaget-kaget dengarnya.”

“Malas,” jawab Usnan lugas. Ringkas. Seringkas salat subuh yang cuma dua rakaat dan dikerjakan bergegas-gegas.

Aku tergelak. Hampir ngakak. “Ya—itu sih penyakit semua orang menjelang subuh, Bung!”

“Bukan cuma menjelang subuh. Menjelang waktu salat.”

“Nah itu dia! Tidak ada alasan lain apa selain malas?”

“Banyak. Tapi itulah yang paling jujur.”

“Lalu?”

“Lalu apanya?”

“Mengatasinya.”

“Kalau aku tahu cara mengatasinya, mustahil aku sampai banting-banting bantal tiap pagi. Ranjangku sampai mau patah karenanya.”

Aku juga sampai merasa ngeri dengarnya. “Kalau kamu sudah tahu ini semata-mata karena malas, bukan karena sebab lain, berarti obat yang kamu butuhkan sederhana saja, kan? Just do it! Itu saja. Gampang, kan?”

“Kedengarannya. Prakteknya?”

“Ya—jangan cuma didengarkan. Praktekkan! Do it! Begitu dengar azan, yang perlu kamu lakukan hanya satu. Bangun! Lalu ambil wudu, lalu salat.”

“Tidak semudah itu.”

“Apa susahnya? Kamu bilang, baru kali ini kamu tidak salat subuh terus-menerus selama dua minggu. Berarti dulu-dulunya tidak separah ini, kan? Kenapa sekarang bilang ‘tidak semudah itu’ padahal dulu ‘semudah itu’?”

“Situasinya sudah berbeda.”

“Kenapa?”

Usnan terdiam. Tampak ada yang hendak dikatakannya. Tapi ia hanya tersenyum. Tersipu. Lalu lamat-lamat terdengar ia menembangkan sebuah lagu. Hancur hatiku mengenang dikau, menjadi keping-keping, setelah kau pergi…

Aku hanya butuh waktu dua detik untuk mengerti apa yang dimaksudkannya. “Oalah, gara-gara itu to. Wah-wah-wah, celaka duabelas, Bung, kalau kamu menjadikan Alia sebagai alasan tidak subuhan. Kamu tidak jadi tunangan dengannya, lalu jadi malas-malasan, lalu tidak subuhan, lalu ngamuk-ngamuk. Kekanak-kanakan sekali!”

“Itu sebabnya aku muak dengan diriku sendiri.”

“Terus banting-banting bantal tiap pagi.”

“Kadang ranjangku juga ingin kubanting-banting.”

“Bisa diusir Pak Kos kamu,” sergahku sambil tertawa. Usnan juga. “Memangnya kenapa sih kalian tidak jadi tunangan?”

“Alah, mau tahu saja kamu! Jadi mirip wartawan infotainment!”

“Oke, kalau begitu pertanyaannya kuganti. Seberapa penting sih Alia buatmu, sampai bikin kamu malas salat begitu?”

“Sepenting sms-smsnya yang selalu datang limabelas menit setelah waktu salat dimulai. Kalau hari ini waktu salat zuhur mulai jam duabelas misalnya, maka jam duabelas lewat limabelas menit nanti dia pasti sms begini: sudah salat belum? Begitu pula di waktu asar, magrib dan seterusnya. Aku sudah menganggap dia sebagai muazinku yang paling efektif. Dia tidak perlu pegang mic untuk azan di hadapanku. Cukup sms, beres.”

“Oya?”

Usnan menerawang. Tatapan matanya tak jelas jatuh di mana. Aku sendiri membayangkan betapa Alia telah sukses menjelma jadi malaikat penjaga salat bagi Usnan. Kalau bukan malaikat, setidaknya ia semacam polisi syariat yang gemilang.

“Terus, karena sekarang muazinnya sudah pergi, salatnya juga berhenti?”

“Aku benci menjadi laki-laki serapuh ini. Sama sekali tidak suka sebenarnya. Tapi apa boleh buat! Alia sudah menjadi semacam kafein yang mengandung zat adiktif bagiku.”

“Bagaimana kalau aku saja yang sms begitu tiap subuh?”

“Bukan isi sms-nya yang penting tapi siapa yang mengirim.”

“Kalau aku yang kirim?”

“Sepertinya mataku akan tetap mengantuk.”

“Kalau begitu niat salatmu perlu diganti. Jangan bilang lillahi ta’ala tapi li Alia al-jamilah.

“Kamu mau bilang aku tidak ikhlas?”

“Kamu pikir dengan begitu kamu ikhlas?”

Usnan terdiam. Ada ketegangan yang tiba-tiba mengapung di antara kami berdua. Sinar matahari jatuh pada gelas kopi di hadapanku. Mempertegas kepulan asap yang meruap.

“Sebaiknya cepat balik lagi ke Alia.”

“Kalau bisa.”

“Kalau tidak, segera bongkar ranjangmu sebelum ambruk gara-gara kamu amuk tiap pagi. Tidak usah pakai ranjang. Tidur saja di lantai.”

Tapi percuma. Usnan tidak juga membongkar ranjangnya. Sampai sekarang. Sampai pagi ini. Sampai aku dengar lagi suara-suara debum bantal menghajar ranjang dan jeritan-jeritannya yang tertahan. Entah sampai kapan. Mungkin besok. Mungkin lusa. Sampai Alia datang lagi dengan sms-smsnya. Atau, sampai Usnan kembali sadar salatnya lillahi ta’ala, bukan li Alia al-jamilah. ♦♦

Bali, 22 Februari 2008

(Dimuat oleh Banjarmasin Post, 20 April 2008)



Kafe Bunga Tanggal 25


Undangan itu sungguh mirip pizza. Sangat menggoda.

Simak saja suara empuk perempuan yang meneleponku siang itu. “Perkenalkan, nama saya Alia. Saya panitia penyelenggara Pekan Bahasa yang akan diadakan bulan depan oleh Fakultas Sastra. Seperti biasa, salah satu agendanya adalah bedah novel. Jika anda tidak keberatan, kami bermaksud mendiskusikan novel anda, Sang Penulis. Dan jika jadwal anda masih kosong pada tanggal 25 bulan depan, kami harap anda bersedia mengisinya dengan menjadi pembicara dalam acara kami ini.”

Hmm, permintaan izin yang sungguh-sungguh ramah, batinku. Disertai undangan yang santun pula! Sehingga agak keterluan jika aku tidak berterimakasih terlebih dahulu. “Tapi ngomong-ngomong, sebagai apa saya diundang?” gurauku di tengah rasa bangga sekaligus gugup.

“Maaf?”

“Panitia mengundang saya sebagai apa; sebagai penulis atau pembaca novel itu. Kaidah anak sastra ‘kan begini, ketika sebuah karya selesai ditulis, otomatis pengarangnya mati. Kalau begitu, saya bukan lagi penulis novel itu, kan?”

Di seberang, Alia tertawa. Gurih sekali. Segurih keju mozarella yang ditabur di atas senampan pizza. “Bagaimana kalau saya mengundang anda sebagai Roni saja?”

Kali ini aku yang tertawa. Roni adalah tokoh utama dalam novel yang kutulis. “Tapi Roni tak pernah benar-benar jadi penulis lho! Tidak ada satu cerpen pun yang selesai dibuatnya meski dia kesana-kemari mengaku cerpenis. Jadi bersiap-siaplah kecewa mengundang cerpenis gadungan ke acara Pekan Bahasa!”

Tawa Alia berderai-derai lagi. Seperti gerimis yang jatuh kecil-kecil pada hari pertama aku menggarap “novel” itu. Sumpah mati, kala itu aku tidak menyangka jika kelak apa yang kutulis mewujud jadi karya sastra bernama novel. Karena aku bukan novelis. Bukan pula cerpenis. Menjadi sastrawan tidak pernah masuk dalam daftar cita-citaku. Buku-buku sastra hanya satu-dua yang pernah kubaca. Itu pun lebih disebabkan propaganda seseorang. Roni, nama orang itu, cinta setengah mati pada dunia sastra. Dialah yang rajin menganjurkanku membaca karya-karya yang menurutnya bagus dan pantas diberi predikat “edan tenan”.

“Coba deh baca buku ini! Kamu pasti suka, pasti terkaget-kaget, pasti terguncang-guncang,” katanya suatu ketika sambil mengacung-acungkan buku kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati. Gayanya mengingatkanku pada masa kecil, pada tingkah Bapak jika sedang mengiming-imingi coklat asal aku mau melakukan apa yang diperintahkannya.

“Kamu mungkin akan bertanya-tanya: kok bisa ya nulis cerita kayak gini? Istimewa sekali. Gila. Edan. Saking edannya, jangan-jangan, nanti kamu malah ingin jadi cerpenis juga!”

Aku masih ingat betapa aku bergegas menyambut buku itu. Bukan karena termakan promosinya. Bukan karena terpikat omongannya yang sarat majas hiperbola. Aku justru tidak suka caranya beriklan. Kurasa dia tidak berbakat jadi salesman. Rayuannya kurang “maut”. Tidak meyakinkan. Terlalu tergesa-gesa. Jadi, sebelum mulutnya tambah berbuih-buih, kuputuskan untuk menyerobot buku itu.

Seharian aku membaca buku yang Roni jamin akan membuatku terguncang-guncang itu. Dan, okay, dalam beberapa hal, Roni mungkin benar. Aku memang terpukau dengan kecerdikan si penulis meracik kenyataan dengan imajinasi, mengaduk fakta dalam fiksi hingga terhidang ramuan yang menyegarkan. Aku memang terguncang-guncang waktu harus membayangkan alangkah pedihnya menjadi warga keturunan Tionghoa di saat kerusuhan Mei 1998 meletus di negeri ini. Alangkah sakitnya menjadi Clara, perempuan yang oleh sejumlah orang dianggap pantas dipukuli, dibakar mobilnya, bahkan diperkosa—semata-mata karena dia keturunan Cina!

Namun itu tidak serta-merta membuatku tertarik untuk ikut-ikutan mengarang cerpen seperti yang Roni perkirakan. Bagiku, puisi, prosa, atau sastra secara umum tetaplah sebuah dunia yang gelap nan asing, dan karenanya enggan kugeluti. Satu-satunya hal yang selalu menggelitik untuk terus kukuntit justru tentang Roni. Tentang minatnya pada dunia sastra. Tentang nafsu mengarangnya yang luar biasa. Juga tentang cita-citanya yang (ternyata) memang cuma satu: menjadi penulis!

Kalau ditanya kenapa ingin begitu, kurang lebih jawabannya begini.

“Aku tidak mau kelak jadi pegawai. Mau pegawai negeri atau swasta, sama saja. Sama tidak enaknya. Bayangkan! Betapa bosannya berangkat pagi pulang malam, mengerjakan tugas yang itu-itu saja. Otak kita bisa jadi tong kosong kalau terus-terusan mengurusi hal-hal rutin yang tidak penting bagi kualitas kemanusiaan kita. Aku lebih suka kerjaan yang fleksibel, yang bikin kita mikir, yang bisa dilakukan kapan aja, sambil tiduran, sambil nongkrong di balkon.”

Maka jangan heran jika obrolan-obrolannya melulu soal tulis-menulis, soal sastra. Kalau siang ini dia bicara panjang lebar mengenai Seratus Tahun Kesunyian, malam nanti mungkin giliran Saman. Kalau Minggu pagi dia berulang-ulang memuji cerpen Danarto yang baru dibacanya di sebuah koran nasional, boleh jadi sorenya dia datang ke tempatku sambil membawa halaman koran lain yang memuat cerpen Eka Kurniawan.

“Edan tenan! Dahsyat benar cerpen ini! Coba lihat!” begitu puja-puji yang biasa dia lontarkan.

“Kalau cerpen kamu yang dimuat di situ, baru aku bilang edan tenan,” itulah komentar yang biasa meluncur dari mulutku.

Dan, inilah kalimat yang biasa dia timpalkan. “Minggu depan, kamu bakalan lihat cerpenku nongol di situ. Tunggu saja.”

Tapi rupanya, menunggu cerpen Roni dimuat di koran sama saja dengan menunggu Godot yang tak datang-datang. Karena kenyatannya, dia tidak pernah berhasil menulis satu cerpen pun! Semuanya gagal di tengah jalan. Pretel-pretel. Serupa motor kehabisan bensin. Seperti mobil terendam banjir. Tulisan-tulisannya selalu mogok kehabisan energi penciptaan. Ada yang hanya tersusun tiga paragraf. Ada yang hanya tertulis separuh gagasan. Bahkan tidak sedikit yang cuma berisi judul ditambah satu baris pertama!

Aih-aih, ada apa sebenarnya dengan Roni?

“Inilah celakanya kalau jadi penyair duluan sebelum menulis cerpen,” ujarnya membela diri setiap kali kutertawakan.

“Oya?”

“Begini, jauh-jauh hari sebelum jatuh cinta pada cerpen, aku sudah terbiasa menulis puisi. Berbeda dengan prosa, puisi itu ‘kan harus padat. Hemat. Pelit kata-kata. Sebisa mungkin menghindar dari ungkapan-ungkapan yang biasa, sekaligus tertib ber-aa-ii.”

“Ber-aa-ii?”

“Berima, maksudku. Mengandung unsur bunyi. Nah, mindset kepenyairan inilah yang selalu menggangguku. Setiap kali mulai menulis, baru selesai satu paragraf, aku sudah gatal untuk mengeditnya. Terkadang cuma untuk memastikan, sudah cantik apa belum bahasanya. Sudah indah apa belum kedengarannya. Begitu seterusnya.”

Ya, begitulah seterusnya! Dari hari ke hari, Roni berpusing dengan proses kreatifnya yang tak rampung-rampung. Padahal telah dicobanya segala cara. Mulai dari yang bersifat teknis sampai non-teknis. Mulai dari membaca lebih banyak lagi buku-buku cerita, berpartisipasi aktif dalam komunitas-komunitas sastra, berkunjung ke rumah-rumah sastrawan, sampai mondar-mandir bawa laptop ke kafe-kafe layaknya penulis-penulis masa kini. Untuk menebalkan motivasinya, ia bahkan bernazar untuk tidak menikah sebelum novelnya terbit! Tapi tetap saja tak terlahir apa-apa dari laptop-nya itu. Jangankan novel, cerpen yang cuma sebanyak enam halaman, pun tidak!

Berjuta kenangan tentang Roni itulah yang terus-menerus bergentayangan dalam pikiranku. Lalu lama-lama menjelma jadi hantu. Hantu yang tak bosan-bosan menggodaku untuk duduk berminggu-minggu di depan komputer, menulis cerita perihal Roni.

Awalnya kupikir, apa yang kutulis itu cuma semacam kesaksian. Atau paling banter, biografi seorang (calon) penulis yang malang. Tapi tiba-tiba kawan-kawan bilang, ini novel! Tiba-tiba ada yang berinisiatif menerbitkan. Tiba-tiba sudah jadi buku. Dan, tiba-tiba aku diundang Alia untuk jadi pembicara di acara Pekan Bahasa. Sebuah undangan yang, seperti kubilang sejak awal, sungguh mirip pizza. Sangat menggoda. Bukan semata-mata karena (hhmm, yummy!) bisa dijadikan ajang promosi demi “menarik” lebih banyak royalti. Bukan semata-mata karena jumlah honornya yang lumayan menggiurkan. Melainkan juga karena acara ini bakal diselenggarakan di kota di mana aku dan Roni pernah tinggal, di mana seluruh ide novelku berawal.

Nah! Itulah sebabnya, ketika Alia menanyakan kesediaanku menghadiri acaranya itu, aku cuma bisa bilang.

“Saya tidak punya alasan untuk menolaknya.”

“Terima kasih. Sampai jumpa tanggal 25.”

♦♦♦

Tanggal 25. Aku tiba di terminal kota menjelang magrib. Angin dingin segera menyergap. Dasar pegunungan! Tidak bosan-bosan bikin orang menggigil. Atas saran Alia, aku langsung menuju hotel yang sudah dipesankannya atas namaku. Tak lama kemudian, ia muncul mengajakku makan.

“Saya ingin mengajak anda makan di tempat spesial.”

“Oya? Di mana?”

“Maaf, kejutan selalu muncul belakangan.”

Aha, nakal juga anak ini rupanya! Dan terasa semakin nakal saja ketika ternyata, “tempat spesial” yang dimaksudnya adalah Kafe Bunga. Kafe yang kuceritakan berulang-ulang dalam novelku sebagai tempat di mana aku dan Roni biasa minum kopi sembari menulis meski—ya, lagi-lagi—tulisannya tak jadi-jadi.

“Masih kenal tempat ini?”

Aku tersenyum. “Terima kasih kejutannya.”

“Anda pesan apa? Double Bitter?”

Aku tersenyum untuk kesekian kali. Double Bitter yang ia maksud pastilah kopi superpahit yang biasa dipesan Roni di kafe ini dan kucantumkan agak sering dalam novelku. Agaknya gadis ini benar-benar pembaca yang khusyuk. Setiap detil ia pahami, ia selidiki, ia cocokkan dengan lingkungan sekitar. Dan lihatlah, betapa ia amat sumringah melihatku senyum-senyum dihajar kenangan!

Namun senyumku mendadak tercekat begitu melihat seseorang di pojok ruangan. Duduk sendirian. Cuma berteman secangkir minuman. Roni? Si penulis malang itu? Aku ingin membantah. Agar suasananya tidak senostalgik film-film drama. Tapi semakin kutatap semakin kupandang, kenyataan bahwa laki-laki itu adalah Roni semakin tak terbantahkan. Muka tirus. Hidung bangir. Rambut keriting. Tidak salah lagi, itu dia!

Seketika aku merasakan diriku terbelah jadi dua. Kaki kananku ingin sekali beranjak menemuinya. Tapi kaki kiriku mati-matian menahannya. Meja di pojok kafe itu… Ah! Kenapa tidak pernah mudah melumat kekecewaan? Kenapa selalu susah melupakan apa-apa yang pernah dikatakannya di meja di pojok kafe itu?

“Aku capek menjawab pertanyaanmu yang itu-itu saja,” ujarnya waktu itu dengan wajah beku dan senyum kaku. Pandangan matanya mengarah entah ke mana. Yang pasti bukan ke arahku, perempuan yang saat itu, hampir dua tahun dipacarinya.

“Aku kan sudah bilang, aku baru akan menikah kalau novelku sudah terbit. Titik. Jadi kenapa kamu masih menanyakan kapan kita tunangan sementara kamu sendiri tahu novelku baru bab satu!”

Aku menggeram. Ingin menampar. Ingin menerjang. “Kamu bilang bab satu sejak lima bulan lalu!”

“Kamu pikir mudah menulis novel?”

“Kamu pikir mudah pacaran dengan orang tidak jelas macam kamu? Sampai kapan aku harus menunggu? Aku sudah 27. Sudah sarjana sejak tiga tahun lalu. Wajar dong kalau ibuku bolak-balik tanya kapan aku menikah. Aku orang kampung, Ron! Ingat itu! Umur 20 saja sudah dibilang perawan tua.”

“Bilang saja kamu belum dapat laki-laki yang pas.”

“Celakanya, ibuku sudah tahu aku serius sama kamu.”

“Tapi sialnya, novelku belum selesai juga.”

“Maumu aku menunggu sampai novelmu selesai, padahal bab satu saja baru tiga halaman!”

“Itu kalau kamu mau.”

“Kalau tidak?”

Aku tidak pernah bisa menceritakan kelanjutan jawabannya. Bahkan hingga sekarang. Jawaban itu masih menggantung di ujung lidahku, tanpa pernah terceritakan pada siapa pun. Yang bisa kuceritakan padamu hanyalah bahwa usai mendapat jawaban itu, aku bergegas pergi. Bukan semata-mata dari kafe ini. Lebih dari itu: dari kota ini!

Banyak hal yang berkaitan dengan Roni yang berhasil kubuang, memang. Kartu ponselku kugunting jadi dua sepulang dari kafe malam itu juga. Sehingga ia tidak punya lagi akses untuk menghubungiku. Buku-buku yang dihadiahkannya padaku kuhibahkan ke teman-teman. Dan, harapanku yang membubung tinggi untuk menikah dengannya telah kusingkirkan jauh-jauh sejak malam itu juga.

Tinggal satu hal yang tak bisa kubuang. Kenangan. Semakin keras usahaku menyingkirkan semakin kuat ia mencengkeram. Maka ketika aku benar-benar sadar bahwa mustahil mengelabui ingatan, kulumat saja kenangan-kenangan itu. Kukunyah pelan-pelan. Sari-sarinya kutulis diam-diam. Sampai mewujud jadi novel. Novel yang mengantarkanku kembali ke kota ini. Ke kafe ini. Ke reuni ini.

Reuni? Ah, tidak! Tidak akan pernah ada reuni antara aku dan Roni. Meski terkadang aku ingin. Meski mungkin ia mau. Meski sebetulnya aku selalu terobsesi untuk menunjukkan padanya bahwa aku bisa menulis novel seperti yang ia perjuangkan, seperti yang ia cita-citakan. Meski sebenarnya aku ingin bertanya: sudah selesaikah novelmu, Ron?

“Mbak Shinta,” tiba-tiba Alia mengetuk meja. “Anda pesan apa?”

“Kita ke hotel saja.” ♦♦

Bali, 18 Februari 2008